Mengenali Diri


“Saya pria, usia 28 tahun, menikah dan memiliki seorang anak laki-laki. Saya lulus Teknik dari Universitas Ternama Nasional dengan IPK 3,12 pada skala 4. memiliki pengalaman di bidang keteknikan selama 4 tahun”.
Itu kira-kira penggalan surat lamaran yang senantiasa dan selalu saya buat, meski ada beberapa hal yang saya tidak tuliskan, karena alasan kepentingan. (takut dikira mencemarkan nama baik, karena lulusannya susah dapet kerja..he..he...). Saya sampai lupa sudah berapa ribu dan puluh ribu bahkan mungkin ratus ribu hingga juta yang saya habiskan untuk mengirim lamaran dan mencari kerja. Dan sudah jutaan kilometer yang saya dan petugas pengantar surat tempuh untuk mencapai lokasi yang dituju. Namun rasanya tertutup sudah pekerjaan yang saya dambakan.

Kemudian ditengah lamunanku, aku dikagetkan oleh suara “hey, kenapa ngelamun” kata suara tadi. “ah...pusing aku, susah banget cari sebatang, dua batang rokok” jawabku membalas. “mana mungkin dapet, orang yang pinter ma berprestasi aja gak dapet” katanya lagi.

Setelah ku tengok ternyata kawanku yang mantan juara kelas dari pertama ketemu sampai lulus teknik. Wah gila, dia yang brilian aja belum dapet kerja gimana yang setengah-setengah, pikirku. “Trus gimana?” tanyaku. “ya musti ada channel atau emang kamu punya duit berapa?” katanya. “Wah kalo’ channel ada sepuluh tuh TV di rumah” kataku, “kalo duit ya…musti jual tanah ma kambing ortu” lanjutku lagi.

Dasar, bagaimana mau maju kalo gini, pikirku. Yang pinter gak dipakai, trus musti yang gimana yang di pakai?. Bingung jadinya. Akhirnya internetlah yang sejak dari dulu terus memberi semangat selain istri dan anakku. Eh…sampai di intenet malah trus blank, bukannya cari lowongan kerja dan kiat-kiat bisnis malah situs dewasa yang langsung terpikir. Akhirnya dengan bantuan paman google perjalanan mencari sensasi terus berlanjut sampai berjam-jam. Hinagga pada jam terakhir baru teringat kalau belum dapat info lowongan, berhubung uang sudah mempet, akhirnya baru membaca lowongan teknik di perusahaan tambang, dan belum sempat membaca syaratnya sudah habis jatah uang dan waktunya.

Akhirnya pulang dengan isi sensasi saja, tanpa ada hasil untuk hari esok. Trus bagaimana mau menjadi generasi yang brilian jika semua pemuda seperti itu (saya, yang dalam cerita tadi..he…he). Akhirnya mental yang terbangun adalah mental pengisi kemerdekaan yang keranjingan sensasi. Padahal dibutuhkan generasi brilian yang memiliki mental pejuang pengisi kemerdekaan yang berani dan dipandang. Sebagai pencipta, bukan hanya pengguna. Sebagai pemrakarsa, bukan pelaksana. Sebagai pemilik tenaga kerja, bukan yang takut di PHK. Sebagai raja di Negara sendiri, bukan budak. Sebagai yang diharap dan di hormati di Negara lain, bukan barang murah dan murahan yang menjadi bulan-bulanan majikan.

Trus gimana para pelaksana kebijakan di negeri ini. Ah entahlah saya mau gabung saja gak bisa-bisa. Hanya prasangka saja yang nanti bisa saya ceritakan. Dan bisa-bisa saya masuk penjara jika beritanya sama dengan aslinya. Dari pada istri dan anak saya sedih, lebih baik saja menjadi warga yang baik saja, menerima apa yang sudah diberikan, kebijakan yang dibuat saya laksanakan dan saya patuhi. Jika sedikit tidak sesuai dengan yang seharusnya yang saya sampaikan ke anak-istri saya adalah terimalah nanti yang kuasa (Allah SWT) yang akan membalasnya. Mari kita tidur bu…

Comments